TAAT ATAU MAKSIAT: MANA YANG SEBENARNYA LEBIH MUDAH?

AQIDAH
Bagikan Artikel Ini

Setiap insan yang lahir ke dunia ini membawa fitrah. Ia hadir tanpa dosa, tanpa beban, suci sebagaimana lembaran putih yang belum tertulis apa-apa, kosong tanpa coretan, rapih tanpa robekan. Dunia menyambutnya dengan kehangatan cinta seorang ibu, dengan tangisan yang menjadi suara pertamanya, dan dengan udara yang menjadi saksi bahwa ia telah berpindah dari alam rahim ke alam kehidupan, alam yang akan menjadi tempat perjalanan, perjalanan yang begitu melelahkan, yang kerap kali dihiasi oleh lubang dan tikungan yang tidak kita inginkan.

Saat pertama kali menghirup udara dunia, manusia belum mengenal apa itu taat atau maksiat. Namun seiring bertambahnya usia, meningkatnya kualiatas pola pikir, ia mulai belajar memilih, ia belajar menimbang, dan ia mulai disodori dua jalan: jalan ketaatan kepada Allah, atau jalan penyimpangan yang menyalahi fitrah. Allah Ta’ala berfirman:

وَهَدَيْنَاهُ النَّجْدَيْنِ

“Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan.”(QS. Al-Balad: 10)

Setiap manusia akan menjalani perjalanan hidup. Sebuah perjalanan panjang penuh rintangan dan beban sesuai dengan kemampuan, namun kita yakin bahwa setiap langkahnya akan dicatat, setiap gerak-geriknya akan dihisab, dan setiap ucapannya akan diperhitungkan. Allah Ta’ala berfirman:

فَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ، وَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ

“Barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barang siapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.”(QS. Az-Zalzalah: 7–8)

Hidup ini hanyalah pilihan antara dua jalan: jalan ketaatan atau jalan kemaksiatan. Tak ada wilayah abu-abu dalam penilaian Allah. Segala amal berada dalam salah satu di antara dua kategori itu: taat atau maksiat. Jalan ketaatan menuntun ke surga, jalan kemaksiatan menyeret ke neraka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

حُفَّتِ الجَنَّةُ بِالمَكَارِهِ، وَحُفَّتِ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ

“Surga itu dikelilingi oleh hal-hal yang tidak disukai, sedangkan neraka dikelilingi oleh syahwat (keinginan hawa nafsu).” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dua jalan itulah yang kelak akan menjadi dasar dari seluruh amal perbuatannya. Tak ada jalan ketiga. Tak ada ruang netral. tak ada jalan abu-abu. Semua amal akan dikategorikan: apakah itu taat atau maksiat.

Yang menjadi pertanyaan penting—dan ini sering kali menjadi bahan perenungan dalam jiwa seorang mukmin—adalah: Di antara taat dan maksiat, mana yang sebenarnya lebih mudah untuk dilakukan?

Secara naluriah, manusia cenderung menghindari kesulitan, menjauh dari beban dan memilih kenyamanan. Maka, tak heran bila sebagian besar orang dengan cepat menjawab bahwa maksiat lebih mudah. Mengapa? Karena sering kali maksiat sejalan dengan hawa nafsu. Ia memberi kesenangan instan. Ia menjanjikan kenikmatan yang tak perlu menunggu waktu lama.

Melihat sesuatu yang haram terasa nikmat. Mendengar yang dilarang terasa menghibur. Mengucapkan kata-kata dosa terkadang terasa ringan. Melakukan pelanggaran terasa lebih menyenangkan, apalagi jika tak ada yang tahu dan dilakukan secara berkelompok, seolah kemaksiatan adalah hal lumrah.Namun, mari kita lihat lebih dalam.

Seorang pencuri, misalnya, tidak serta-merta melakukan aksinya tanpa persiapan. Ia harus merancang skenario, mengamati target, menyiapkan alat bantu, menghindari kamera pengawas, mencari waktu yang tepat, bahkan sering kali harus berkelompok dalam melancarkan aksinya, membagi hasil dari apa yang didapatkannya. Ia juga harus siap dengan segala risiko: ditangkap, dipukuli massa, dihukum, dipenjara, dan dihina masyarakat, bahkan lebih dari pada itu, nyawa seringkali menjadi taruhannya.

Seorang peminum minuman keras, atau pengguna narkoba, seringkali harus bersembunyi, menghindari polisi, mengeluarkan uang, menyembunyikan kebiasaannya dari keluarga, dan pada akhirnya hidup dalam rasa takut, gelisah dan kehinaan.

Begitu pula dengan pelaku zina. Mereka harus mencari tempat tersembunyi, menyembunyikan hubungan terlarang, dan hidup dalam kecemasan bila kehamilan terjadi atau aib terbongkar. Bahkan, sebagian besar pelaku zina menderita secara psikologis akibat rasa bersalah, kehancuran rumah tangga, hilangnya harga diri, hilangnya segala harta dan kehormatannya yang ia usahakan selama bertahun-tahun.Padahal Allah telah menyindir pelaku dosa dalam firman-Nya:

إِنَّ الَّذِينَ أَجْرَمُوا كَانُوا مِنَ الَّذِينَ آمَنُوا يَضْحَكُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang berdosa itu dahulu (di dunia) menertawakan orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Muthaffifin: 29)

Bandingkan semua itu dengan ketaatan.

Seperti shalat. Shalat bisa dilakukan di kamar sendiri, di rumah, di masjid, di tengah perjalanan, bahkan di pesawat. Tidak perlu alat khusus, tidak memerlukan dana besar, hanya kemauan dan sedikit waktu. Allah menjadikan ibadah begitu ringan dan penuh kemudahan..

Ketika seseorang hendak bersedekah, cukup mengulurkan tangan. Meskipun hanya dengan sebiji kurma, bahkan sekadar senyuman. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ

“Lindungilah dirimu dari neraka walaupun hanya dengan (bersedekah) sepotong kurma.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Tidakkah kita melihat betapa ringannya taat itu? Bahkan diam pun bisa menjadi ibadah, jika diniatkan untuk menahan diri dari ghibah. Tidur pun bisa bernilai pahala jika diniatkan untuk mengumpulkan tenaga demi ibadah malam.

Lebih dari itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala bahkan melipatgandakan pahala orang yang taat:

مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا

“Barang siapa yang datang dengan membawa kebaikan, maka baginya sepuluh kali lipat dari kebaikan itu.” (QS. Al-An’am: 160)

Namun, mengapa justru banyak orang yang lebih memilih maksiat? Karena hawa nafsu membutakan mereka. Karena syaitan menghiasi keburukan seolah-olah itu kebaikan.Allah berfirman:

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini…” (QS. Ali Imran: 14)

Syaitan bekerja dengan sangat licik. Ia tak pernah memaksa, tetapi menggoda perlahan. Ia menanamkan was-was. Ia membisikkan kenikmatan sesaat. Ia mengatakan bahwa dunia adalah segalanya. Padahal dunia hanyalah tempat persinggahan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ

“Jadilah engkau di dunia seperti orang asing atau seorang pengembara.”(HR. Bukhari)

Hidup ini singkat. Sangat singkat. Dan terlalu singkat untuk diisi dengan kemaksiatan. Hari ini kita hidup, esok bisa jadi kita sudah tidak bernyawa. Maka mengapa tidak memilih jalan taat yang lebih ringan, lebih bersih, dan lebih menenangkan?

Satu dzikir saja bisa menjadi penenang hati. Satu istighfar bisa menjadi pelebur dosa. Satu ayat Al-Qur’an yang dibaca bisa menjadi cahaya di hari yang gelap. Dan semua itu tak butuh biaya, tak butuh tempat tersembunyi, tak butuh partner kriminal. Lebih dari itu, taat tidak hanya membawa ketenangan batin, tapi juga mendatangkan keberkahan hidup. Allah akan cukupkan rezeki orang yang bertakwa, sebagaimana firman-Nya:

وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا، وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ

“Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya, dan memberi rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.”(QS. At-Talaq: 2–3)

Taat bukan hanya tentang pahala akhirat. Ia juga membawa kemuliaan di dunia. Orang yang taat akan lebih mudah untuk dihormati, tutur katanya meneduhkan, keberadaannya menenangkan. Bandingkan dengan pelaku maksiat, yang seringkali hidup dalam ketakutan, gelisah, kehilangan arah, bahkan kerap kali kehadirannya penuh cemoohan, hidupnya menggangu dan matinya menyulitkan.

Maka, marilah kita pikirkan ulang: benarkah maksiat itu lebih mudah?

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا

“Sesungguhnya agama ini mudah. Tidaklah seseorang mempersulit agama ini kecuali dia akan dikalahkan olehnya. Maka bersikap luruslah, dekatkanlah diri kepada Allah, dan berilah kabar gembira.”(HR. Bukhari)

Maka siapa yang merasa berat untuk taat, sebenarnya bukan karena ketaatan itu berat, tapi karena hatinya belum dibersihkan dari hawa nafsu dan belum disinari oleh cahaya iman.

Mudah-mudahan setiap kata yang tertulis ini bisa membuka satu pikiran yang tertutup, menghangatkan satu hati yang beku, dan membebaskan satu jiwa yang terpenjara.

Penulis : Ilham Abdul Aziz


Bagikan Artikel Ini

TULIS KOMENTAR

guest
2 Comments
Newest
Oldest
Inline Feedbacks
View all comments
Muzan
3 months ago

Alhamdulillah ilmu baru lagi

Budak angon
Budak angon
3 months ago

Syukron