Penghormatan Bukan Pengkultusan

AQIDAH
Bagikan Artikel Ini

Penghargaan ataupun penghormatan yang diungkapkan seseorang terhadap seorang manusia merupakan ekspresi normal selama penghargaan ataupun penghormatan tersebut dalam batas yang wajar dan pada tempatnya sebagai sosok manusia. Karena penghargaan adalah sebuah akibat, artinya selama penyababnya ada maka akibat yang ditimbulkan tidak dapat dihindari. Banyak sekali hal yang dapat memunculkan kekaguman dan rasa hormat kepada seseorang, di antaranya adalah ilmu, harta, usia, ataupun jasa.

Tetapi bila penghormatan dan kekaguman telah keluar dari batas kewajaran maka yang terjadi bukanlah penghormatan, tetapi pengkultusan, yang memposisikan idolanya sebagai manusia yang luar biasa, sosok yang sangat hebat bahkan sakti, sehingga apapun yang diucapkannya pasti benar, semua yang dilakukannya merupakan inspirasi hidup yang tidak boleh ditawar-tawar lagi. Bahkan apapun yang pernah berkaitan dengan sang idola selalu dinilai lebih dari yang lain, seperti pakaiannya, senjatanya, rambutnya, bekas makan dan minumnya bahkan hari kelahirannya dianggap suatu kejadian yang luar biasa dan lain sebagainya.

Nabi Tetaplah Manusia Biasa

Seorang shahabat yang baru pulang bertugas dari Romawi menemui Rasulullah Saw. Tiba-tiba saja ia bersujud di hadapan Rasulullah Saw. Ketika ditanya alasannya, ia menjawab, “Ketika aku berada di Roma, aku melihat penduduk di sana begitu cinta dan hormat kepada pemimpinnya sehingga bilamana mereka bertemu dengannya mereka bersujud sampai pemimpinnya tersebut berlalu di hadapannya. Karena hal itulah, aku berpikir bahwa Rasulullah lebih layak untuk diberikan penghormatan seperti itu bahkan lebih.” Mendengar alasan tersebut Rasulullah Saw bersabda: “La tuthruni kama athratin nashara ibna Maryam, janganlah kalian menyanjungku (dengan berlebihan) seperti yang dilakukan kaum Nashrani kepada Isa putra Maryam (dengan menganggapnya sebagai putra Tuhan).”

Berdasarkan riwayat di atas, ada beberpa catatan penting yang mesti kita perhatikan, di antaranya:

  1. Sujud yang dilakukan shahabat terhadap Nabi Saw adalah sebuah ekspresi kecintaan shahabat terhadap Nabinya yang sangat dicintai dan dihormatinya.
  2. Sebagai seorang pemimpin yang benar dan bertanggung jawab, Rasulullah Saw senantiasa mengingatkan dan mengarahkan umatnya kepada jalan yang lurus, seperti dalam hal sujud yang dilakukan oleh shahabat tersebut kepada beliau walaupun secara lahir bertujuan untuk menghormati dan menghargai beliau.
  3. Penghormatan yang berlebihan akan mengarah pada pengkultusan yang dilarang oleh syari’at Islam itu sendiri. Hal itu terbukti kepada kaum Nashrani yang mengkultuskan Nabi Isa sampai dianggap sebagai anak Tuhan bahkan titisan Tuhan.

Oleh karena itu beliau senantiasa mengungkapkan: Innama ana basyarun ; aku adalah manusia biasa seperti kalian. Hal tersebut untuk mengingatkan umatnya, bahwa apa yang aku ucapkan dan aku lakukan sama seperti yang kamu ucapkan dan kamu lakukan, yaitu mungkin benar dan salah atau mungkin juga lupa dan khilaf. Oleh karenanya, dalam hal ini beliau secara tidak langsung mendidik umatnya untuk kritis dan jeli akan apa yang beliau ucapkan atau lakukan, dalam kasus-kasus basyariyah (kemanusiaan) beliau membutuhkan teguaran ataupun kritikan dari shahabatnya. Maka selanjutnya beliau bersabda: Fa idza nasitu fadzakkiruni ; maka apabila aku lupa (ataupun salah) ingatkanlah aku.

Apa yang diungkapkan oleh Nabi Saw di atas bukanlah sekedar teori dan isapan jempol belaka. Dalam beberapa kasus Nabi Saw pernah mengalami hal-hal yang teralami oleh manusia biasa lainnya. Di antaranya dalam kasus shalat, banyak hadits yang mengisahkan bagaimana Nabi Saw pernah mengalami beberapa kesalahan karena lupa, apakah kekurangan raka’at maupun kelebihan raka’at bahkan sampai lupa tidak melakukan tasyahud awwal. Seperti yang tercatat di dalam Kitab al-Jami’us-Shahih Imam al-Bukhari dan Imam Muslim berikut ini

Pertama, kekurangan raka’at

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ صَلَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الظُّهْرَ رَكْعَتَيْنِ فَقِيلَ صَلَّيْتَ رَكْعَتَيْنِ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ سَلَّمَ ثُمَّ سَجَدَ سَجْدَتَيْنِ (البخاري)

dari Abu Hurairah berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat Dhuhur dua rakaat. Lalu dikatakan kepada beliau: “Tuan shalat hanya dua rakaat!” Maka beliau mengerjakan shalat dua rakaat yang kurang kemudian salam, setelah itu beliau sujud dua kali.”

عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى الْعَصْرَ فَسَلَّمَ فِي ثَلَاثِ رَكَعَاتٍ ثُمَّ دَخَلَ مَنْزِلَهُ فَقَامَ إِلَيْهِ رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ الْخِرْبَاقُ وَكَانَ فِي يَدَيْهِ طُولٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَذَكَرَ لَهُ صَنِيعَهُ وَخَرَجَ غَضْبَانَ يَجُرُّ رِدَاءَهُ حَتَّى انْتَهَى إِلَى النَّاسِ فَقَالَ أَصَدَقَ هَذَا قَالُوا نَعَمْ فَصَلَّى رَكْعَةً ثُمَّ سَلَّمَ ثُمَّ سَجَدَ سَجْدَتَيْنِ ثُمَّ سَلَّمَ (مسلم)

dari Imran bin Hushain bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat Ashar, lalu mengucapkan salam pada rakaat ketiga, kemudian masuk rumahnya. Lalu seorang laki-laki yang dipanggil al-Khirbaq berdiri menujunya, dalam keadaan di tangannya terjulur seraya dia bertanya, ‘Wahai Rasulullah, ‘ lalu dia menyebutkan sesuatu yang telah beliau berbuat. Dan Rasulullah keluar dalam keadaan marah dengan menyeret surbannya hingga berhenti pada orang-orang seraya bersabda, ‘Apakah benar yang dikatakan orang ini? ‘ Mereka menjawab, ‘Ya benar.’ Lalu beliau shalat satu rakaat kemudian mengucapkan salam kemudian bersujud dua kali kemudian mengucapkan salam.”

Kedua, kelebihan raka’at

عَنْ عَلْقَمَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى الظُّهْرَ خَمْسًا فَقِيلَ لَهُ أَزِيدَ فِي الصَّلَاةِ فَقَالَ وَمَا ذَاكَ قَالَ صَلَّيْتَ خَمْسًا فَسَجَدَ سَجْدَتَيْنِ بَعْدَ مَا سَلَّمَ (البخاري)

dari ‘Alqamah dari ‘Abdullah radliyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat Dhuhur lima raka’at. Beliau ditegur: “Apakah ada tambahan raka’at shalat?” Beliau menjawab: “Memangnya apa yang terjadi?” Dia (‘Abdullah) berkata: “Anda kerjakan shalat lima raka’at“. Maka Beliau sujud dua kali setelah salam”.

Ketiga, tidak tasyahhud awwal

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ ابْنِ بُحَيْنَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ صَلَّى لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَكْعَتَيْنِ مِنْ بَعْضِ الصَّلَوَاتِ ثُمَّ قَامَ فَلَمْ يَجْلِسْ فَقَامَ النَّاسُ مَعَهُ فَلَمَّا قَضَى صَلَاتَهُ وَنَظَرْنَا تَسْلِيمَهُ كَبَّرَ قَبْلَ التَّسْلِيمِ فَسَجَدَ سَجْدَتَيْنِ وَهُوَ جَالِسٌ ثُمَّ سَلَّمَ (البخاري)

dari ‘Abdullah Ibnu Buhainah radliyallahu ‘anhu bahwa dia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat dua raka’at diantara shalat Beliau, lalu Beliau berdiri dan tidak duduk, Maka orang-orang ikut berdiri mengikuti Beliau. Ketika Beliau menyelesaikan shalatnya (empat raka’at) sedangkan kami sedang menunggu-nunggu Beliau memberi salam, Beliau bahkan bertakbir sebelum memberi salam kemudian sujud dua kali dalam posisi duduk kemudian salam”.

Menghormati Nabi Saw?

Inilah barangkali pertanyaan yang paling mendasar, karena dari sisi perlunya menghargai dan menghormati seseorang, khususnya Nabi, adalah sesuatu yang muttafaq ‘alaihi. Sekarang tinggal bagaimana cara mengungkapkannya, karena tidak semua yang kita anggap baik adalah baik dan benar menurut orang yang kita cintai dan hargai seperti kasus shahabat di atas.

Maka tentu sikap yang paling bijaksana dalam hal ini adalah dengan mengetahui keinginan orang yang kita hargai tersebut. Rasulullah Saw pernah bersabda:

مَنْ أَحْيَا سُنَّتِيْ فَقَدْ أَحَبَّنِيْ وَمَنْ أَحَبَّنِيْ كَانَ مَعِي في الْجَنَّةِ

Siapa saja yang menghidupkan sunnahku maka sungguh ia telah mencintaiku, dan siapa saja yang mencintaiku, maka dia akan bersamaku di surga (at-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Ausath)

Kalau kita memperhatikan ungkapan Nabi Saw sendiri ternyata untuk menyatakan kecintaan dan penghargaan kepada beliau cukup hanya dengan menghidupkan Sunnah yang telah beliau sampaikan dan ajarkan, dan menghidupkan Sunnah itu berarti melaksanakannya bukan sekedar slogan dan lipstick belaka apalagi yang diingat hanya perkara-perkara yang tidak ada hubungan dengan nubuwwahnya, seperti tempat dan waktu kelahirannya, dan sebagainya.

Penulis : Rahmat Abdullah


Bagikan Artikel Ini

2 thoughts on “Penghormatan Bukan Pengkultusan

Tinggalkan Balasan ke Ismail fahmi Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *